Pendapat Hukum Prof Abdul Latif Sebagai Ahli Dalam Sidang Gugatan PMH Kepada KPU di PTUN Jakut

Pinterest LinkedIn Tumblr +

RadarOnline.id, JAKARTA – Prof Abdul Latif yang merupakan akademisi Guru Besar Ilmu Hukum pada FH Unkris, hadir sebagai ahli untuk memberikan pendapat hukumnya di PTUN Jakarta Utara dalam sidang perkara gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) yang di duga dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan nomor Registrasi : 133/6/TF/2024/PTUN JKT, Kamis (25/7/2024) kemarin.

Menjawab pertanyaan para kuasa penggugat dan para kuasa tergugat yang menanyakan pendapat Ahli Prof Abdul Latif terkait pendapatnya terhadap legalitas tindakan Plt Ketua KPU yang memberikan surat kuasa kepada Penerima Kuasa, bertindak untuk dan atas nama KPU dalam perkara ini.

Prof Abdul Latif menjelaskan bahwa legalitas tindakan Plt Ketua KPU memberikan surat kuasa kepada penerima kuasa dalam persidangan ini, harus memenuhi beberapa syarat tindakan jabatan sebagai organ dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara, yaitu:

– Pertama, KPU adalah Lembaga Pemerintahan yang mempunyai tugas, wewenang , kewajiban yang dilakukan oleh penjabat dan atau pemangku jabatan “Ketua” yang bersifat tetap (bukan Plt) dalam melaksanakan tugas-tugas KPU yang melekat pada Jabatan “Ketua”. Sebagaimana diatur dalam Pasal 11 (1) huruf b dan d UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

– Kedua, Jabatan Ketua KPU mempunyai tugas “ber4ndak untuk dan atas nama KPU ke luar dan ke dalam”, Menandatangani seluruh Peraturan dan Keputusan KPU, termasuk Keputusan memeberikan “Surat Kuasa ” kepada penerima Surat Kuasa.

– Ketiga, tindakan jabatan KPU harus dilakukan oleh Pejabat Ketua KPU yang bersifat tetap yang kewenangannya bersifat Atributif, langsung diperoleh dari UUD 1945 dan UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

– Keempat, tindakan Pejabat Plt, memperoleh mandat apabila ditugaskan oleh Badan dan/atau Pejabat yang lebih tinggi dan merupakan pelaksanaan tugas rutin sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Ayat (1) dan (2) UU No. 30 tahun 2014. Tentang administrasi pemerintahan.

Dengan demikian Pejabat Plt bukan bertindak atas dasar kewenangan sendiri melaksanakan tugas KPU melainkan tidak lebih dari pelaksana wewenang dari “Ketua” KPU. Jadi pemilik asli dari tugas dan wewenang itu tidak lain hanyalah Ketua KPU definitif. Tanggugang jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemeberi Mandat in casu Ketua KPU sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Ayat (1) UU No.30 Tahun 2014 tetang Administrasi Pemerintahan.

“Berdasarkan keempat syarat sahnya suatu tindakan jabatan tersebut, apabila tidak terpenuhi maka Ahli berpendapat Surat Kuasa yang diberikan oleh Pejabat Plt Ketua KPU kepada Penerima Kuasa, adalah bukan merupakan tindakan Jabatan yang sah dan bersifat tetap, dan karenanya Penerima SURAT KUASA tidak dapat dikatakan bertindak untuk dan atas nama mewakili kepentingan Tergugat KPU sebagai badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat dalam perkara ini.” Jelas Prof Abdul Latif di PTUN Jakarta Utara.

Dimintai pendapatnya sebagai ahli oleh para kuasa tergugat terhadap adanya tindakan pemerintahan yang tidak dilakukan/tidak berbuat (Omission) oleh Tergugat KPU untuk menolak pendaftaran Sdr. Gibran Rakabuming Raka sebagai Bakal Calon Wakil Presiden Peserta PEMILU yang tidak memenuhi syarat calon “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”, dan bagaimana pula tindakan pemerintahan yang dilakukan (Comission) oleh Ketua KPU apabila dikaitkan dengan tindakan dan/atau perbuatan menindak lanju; Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tanggal 16 Oktober 2023.

Prof Abdul Latif menjelaskan bahwa tindakan pemerintahan oleh Tergugat Ketua KPU sebagai badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berbuat untuk menolak pendaftaran Sdr. Gibran Rakabuming Raka yang tidak memenuhi syarat calon Wakil Presiden “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun berdasarkan Peraturan Perundang-undangan adalah suatu tindakan dan/atau perbuatan (Omission), yaitu tidak melaksanakan kewajiban, fungsi dan kewenangannya sebagai badan dan/atau pejabat untuk menegakkan hukum peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaiman Peraturan KPU No. 19 Tahun 2023.

Karena itu menurut Prof Abdul Latif tindakan tidak berbuat (Omission) adalah merupakan suatu perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige overheids daad) sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 8 UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019.

“Berdasarkan hal atau ketentuan tersebut secara yuridis tindakan dan/atau perbuatan tidak berbuat (Omission) oleh Tergugat KPU sebagai badan dan/atau Pejabat Pemerintahan adalah suatu tindakan atau perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige overheids daad) karena bertentangan dengan kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB sebagaimana dimaksud Pasal 7 Ayat ( 1) dan (2) huruf c UU NO.30 Tahun 204″, tutup Prof Abdul Latif.

(Edison)

Share.

About Author

Leave A Reply