RadarOnline.id, SURABAYA – Berita penangkapan tersangka dugaan kasus tindak pidana pencabulan berinisial MSA di Jombang yang berstatus DPO oleh kepolisian mendapat bermacam respon publik. Bahkan belum tertangkapnya tersangka pun masih menjadi sajian hangat dipemberitaan.
Bahkan imbas dari upaya paksa penangkapan terhadap tersangka. Baik pihak keluarga maupun tersangka menuding proses penegakan hukum itu perbuatan fitnah. Sebagaimana dinyatakan dalam surat Pernyataan Muhammad Mukhtar Mu’thi (Al Mursyid Thoriqoh Shiidiqiyyah) tertanggal 4 Juli 2022.
Hal tersebut tentunya sangat menggelitik pikiran masyarakat. Apakah status sosial tersangka tindak pidana dapat mempengaruhi proses penegakan hukum? Apakah seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka namun berstatus buron (DPO) dapat beralibi sebagai korban fitnah alih-alih membuktikan dirinya tidak bersalah dalam proses hukum?
Permasalahan tersebut juga menggelitik Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jatim, Mia Amiati untuk membedah permasalah hukum tersebut. Menurutnya, seseorang yang telah disangkakan melakukan suatu tindak pidana bahkan telah ditetapkan sebagai tersangka sebagaimana tersangka MSA dalam perkara tersebut, dapat saja merasa dirinya sebagai korban fitnah dari pihak pelapor maupun korban tindak pidana tersebut.
Namun demikian, sambung Mia, tudingan balik mengenai perbuatan fitnah tersebut tidak dapat terpisah dari proses hukum. Syarat agar suatu tuduhan dapat dianggap sebagai fitnah karena dianggap tidak berdasar (tanpa alat bukti), maka perbuatan fitnah tersebut harus memenuhi unsur Pasal 311 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: “Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.”Dengan demikian, unsur-unsur pidana dalam Pasal 311 ayat (1) KUHP adalah:
1. Seseorang;
2. Menista orang lain secara lisan maupun tulisan;
3. Orang yang menuduh tidak dapat membuktikan tuduhannya dan jika tuduhan tersebut diketahuinya tidak benar.
Dengan demikian apakah tersangka merupakan korban fitnah atau tidak, apakah pelapor atau korban telah melakukan tindak pidana fitnah atau tidak. Untuk itu, sambung Mia, maka proses hukumlah yang dapat membuktikannya.
Dikatakan Mia, pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan, namun sebelum masuk ke tahap pembuktian di persidangan, ada tahapan proses yang harus dilalui, salah satunya adalah penyerahan tersangka dan alat bukti dari penyidik kepada penuntut umum yang dalam kasus yang melibatkan tersangka MSA tersebut belum dapat dilakukan karena yang bersangkutan selalu mangkir dari panggilan penyidik bahkan melarikan diri dalam proses penangkapan.
“Berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 telah ditegaskan bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Prinsip equality before the law tersebut merupakan norma yang melindungi hak asasi warga negara untuk melawan diskriminasi dan kesewenang-wenangan penguasa,” jelas Mia.
Oleh karena Negara Republik Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, maka hukum harus berlaku bagi setiap orang, bukan sebagian orang. Hukum ditempatkan dalam posisi tertinggi dimana kekuasaan pun harus tunduk pada hukum. Prinsip equality before the law merupakan manifestasi dari negara hukum (Rechstaat), sehingga harus ada perlakuan yang sama bagi setiap orang di depan hukum (gelijkheid van ieder voor de wet).
Di dalam Pasal 27 ayat (1) UUD RI 1945, sambung Mia, secara tegas telah memberikan jaminan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
“Pasal ini memberikan makna bahwa setiap warga negara tanpa harus melihat apakah dia penduduk asli atau bukan, berasal dari golongan terdidik atau rakyat jelata yang buta huruf, golongan menengah ke atas atau kaum yang bergumul dengan kemiskinan harus dilayani sama di depan hukum,” tegasnya.
Bahkan dalam hukum pidana Islam, lanjut Mia, asas equality before the law juga sangat dikedepankan, karena memang asas ini adalah manifestasi dari sebuah hukum, penegak hukum tidak boleh membeda-bedakan seseorang dalam proses penegakan hukum untuk mewujudkan keadilan.
Dalam Islam pun di surat Al Maidah ayat 8, Firman Allah SWT menyebutkan: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil, dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (Q.S. Al-Maidah: 8).
Mia menambahkan, sebagaimana terdapat adagium hukum Fiat justitia ruat coelom atau Fiat justitia pereat mundus, maka sekalipun esok langit akan runtuh, meski dunia akan musnah, atau walaupun harus mengorbankan kebaikan, keadilan harus tetap ditegakkan. Siapapun yang terlibat dalam tindak pidana, meskipun pejabat negara, tokoh agama, tokoh masyarakat maupun konglomerat, harus tunduk pada hukum.
Terlepas dari keyakinan pribadi mengenai bersalah atau tidaknya, semua harus dibuktikan melalui proses hukum. Keadilan akan menemukan jalannya. Tidak ada seorangpun akan dihukum kecuali ia telah berbuat salah (nemo punitur sine injuria, facto seu defalta).
HARIFIN