RadarOnline.id, JAKARTA – Bank seharusnya menawarkan restrukturisasi atau perpanjangan waktu kredit, jika debitur menyampaikan ketidaksanggupan menyicil kreditnya akibat bisnisnya sedang turun, kreditur atau bank harus lakukan kajian dan evaluasi guna atasi. Kendala (bisnis).
Ahli hukum bisnis Dr. Prasetyo mengemukakan hal itu menjawab pertanyaan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dalam sidang lanjutan kasus perbankan dengan terdakwa eks pimpinan Bank Swadesi yang kini menjadi Bank Of India Indonesia (BOII), Senin (28/9).
Sebab tambah ahli, pengusaha bisa peroleh kredit setelah dilihat/dinilai bank dia bisa membayar utangnya lewat usahanya. Jika ternyata ada penurunan usaha, hal itu wajar-wajar saja dan pada saat itulah kreditur melakukan pembinaan terhadap debiturnya yang komit dan kooperatif tersebut.
Apalagi jika tidak ada diperjanjikan boleh lelang agunan sebelum kredit jatuh tempo, maka tindakan kreditur melelang agunan tersebut bisa jadi timbulkan masalah rumit bagi debitur.
“Bank bisa dihadapkan pada berbagai dilema. Di satu sisi pemegang saham bisa mempertanyakan tindakan pengelola dan direksi bank atas lelang agunan di tengah jalan itu, di pihak lain debitur dapat pula menempuh langkah-langkah hukum terhadap pengelola atau pimpinan bank sama,” ujar Prasetyo.
Debitur Rita KK/PT Ratu Kharisma (RK) melaporkan ke Kepolisian 21 direksi, pimpinan dan bankir-bankir BOII atas dugaan tindak pidana perbankan atau lelang agunan pinjamannya. Salah satu diantara ke-21 tersebut yaitu Ningsih Suciati yang didudukkan di kursi pesakitan PN Jakarta Pusat oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Hodziqotul alias Olla SH MH dan Rima SH MH untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya melelang agunan tanpa persetujuan debitur dengan 20 pimpinan, direksi dan bankir-bankir BOII lainnya yang saat ini menunggu giliran diadili atas kasus sama.
Fakta-fakta yang terungkap selama persidangan kasus perbankan ini, Rita KK/PT RK bukanlah debitur/nasabah baru bagi Bank Swadesi/BOII. Pengusaha itu sudah 21 tahun menjadi nasabah/debiturnya. Tidak itu saja, Rita KK juga mengirim surat lima kali untuk memohon restrukturisasi atas kreditnya namun selalu ditolak dan tak digubris. Berbagai upaya penyelamatan lainnya tidak pernah diindahkan, dan yang sangat janggal Bank Swadesi/BOII tidak mau bekerjasama mencari solusi dengan debiturnya.
Bank Swadesi/BOII bahkan ngebut sedemikian rupa agar obyek agunan kredit Rita KK/PT RK berupa tanah berikut bangunan villa Kozy di Seminyak Bali dilelang secepatnya dengan memaksakan lelang mengakibatkan harga sangat rendah, tanpa ada independent appraisal. Ironisnya, setelah itu masih ditagih lagi kredit berikut bunganya, sementara di rekening koran hutang debitur disebut/ditulis lunas tetapi di SLIK OJK masih tertera ada hutang miliaran rupiah.
Padahal, akibat lelang secara “paksa” dan diduga penuh rekayasa itu debitur Rita KK/PT RK justru menderita kerugian puluhan miliar rupiah. Terbukti, agunan yang dilelang itu saat diagunkan lagi oleh pembeli lelang justru bisa mendapatkan pinjaman kredit berlipat-lipat dari nilai lelang atau pembelian jaminan tersebut.
Atas pendapat ahli yang dihadirkan terdakwa melalui penasihat hukumnya Fransisca SH MH itu, terdakwa Ningsih Suciati tidak menanggapinya. Dia juga tidak mengajukan pertanyaan terhadap ahli soal kasus perbankan yang membelitnya.
“Saya tidak ada pertanyaan maupun tanggapan Pak Hakim,” kata Ningsih Suciati dalam sidang pimpinan M Sainal SH MH secara online atau daring tersebut.
Sidang pekan depan diagendakan pemeriksaan Ningsih Suciati sebagai terdakwa yang selanjutnya disusul pembacaan tuntutan JPU.
THOMSON