RadarOnline.id, SURABAYA – Pasangan suami istri (Pasutri) Liem Inggriani Laksmana dan Liauw Edwin Januar Laksmono didakwa menipu teman baiknya, Oenik Djunani Asiem.
Kedua terdakwa menjual tanah yang dimiliki bersama dengan Oenik. Namun, pembelinya ternyata fiktif dan uangnya sebagian tidak diberikan kepada Oenik, pasutri warga kendangsari tenggilis mejoyo dengan surat dakwaan no.Reg.perkara: PDM-491/Eoh.2/09/2020 .
Jaksa Penuntut Umum (JPU), Dedy Arisandi dari Kejaksaan Negeri Surabaya menyatakan, Liem dan Oenik sudah berteman akrab sejak 30 tahun lalu. Liem kerab main ke rumah teman tersebut.
Kedekatan mereka berlangsung hingga tahun 2008 lalu.
Merasa ada kedekatan Liem menyerahkan Rp 500 juta untuk berinvestasi tiga bidang tanah yang baru saja dibeli Oenik di Balikpapan.
“Oenik membuat surat pernyataan yang dilegalisasi di hadapan notaris yang menyatakan bahwa uang pembelian atas tiga bidang tanah berasal dari dua orang, Oenik dan Liem sehingga semua hak dan kewajiban atas tanah tersebut menjadi kepunyaan dan tanggungan berdua tanpa pengecualian,” ujar Dedy saat membacakan dakwaan dalam sidang di Pengadilan Negeri Surabaya kemarin (23/9).
Edwin, suami Liem ikut menandatangani surat pernyataan kepemilikan tiga bidang tanah seluas 46.228 meter persegi seharga Rp 1,6 miliar pada 2008 lalu.
Edwin kemudian meminta temannya, Pien Thiono untuk berpura-pura membeli tanah tersebut.
Pien sempat menolak. Namun, Edwin mengancam akan mempermasalahkan temannya itu.
“Kepadanya Edwin menjamin dirinya akan mentransfer sejumlah uang ke rekening Pien yang aman digunakan untuk membuka cek atau bilyet giro,” katanya.
Edwin selanjutnya meminta Pien membuka tiga lembar bilyet giro. Setelah itu, cek tersebut yang dibuat Pien diminta kembali oleh Edwin. Total nilainya Rp 1,1 miliar. Secara terpisah, sang istri, Liem menelepon Oenik dengan mengatakan bahwa sudah ada temannya yang berminat membeli tiga bidang tanah milik mereka.
Liem dan Oenik pergi ke kantor notaris di Jalan Kapuas untuk membuat ikatan jual beli tiga bidang tanah dengan pembeli Pien.
Namun, Pien tidak ikut datang. Dia juga tidak pernah tahu mengetahui ikatan jual beli tersebut. Pien tidak kenal Oenik dan tidak pernah tahu sertifikat tanahnya. “Pien memang pernah membuat bilyet giro atas permintaan Edwin.
Bilyet giro itu rencananya akan dibuat untuk membeli tanah tersebut. Pien sebagai pembeli tidak pernah tahu kalau dalam proses jual beli itu diwakilkan Edwin. Sertifikat tanah sudah dibawa Edwin. Namun, bilyet giro itu tidak bisa dicairkan karena sudah jatuh tempo.
Hingga kini Oenik tidak pernah mendapatkan uang dari penjualan tanah itu. Sertifikat tanah juga sudah dikuasainya. Oenik merugi hingga Rp 80 miliar dari penghitungan nilai aset tanah saat ini.
Pengacara terdakwa, Yafet Kurniawan menyatakan, Oenik yang menuntut pembagian uang dari hasil penjualan tanah itu pernah menggugat kedua terdakwa di PN Surabaya.
Gugatannya dikabulkan, Lanjut Yafet, Kedua terdakwa diminta memberikan bagian Oenik senilai Rp 539 juta.
“Klien kami sudah membayar melalui konsinyasi. Kalau dia tidak mengambil salahnya sendiri.
Sekarang uangnya masih ada di pengadilan,” kata Yafet.
Untuk diketahui dalam perkara tersebut sudah ada putusan incrah perdata ,sebagaimana putusan perkara nomor : 44/Pdt.G/PN.Sby jo putusan pengadilan tinggi jawa timur no 61/Pdt/2010/PT Sby yang telah dilaksanakan melalui konsinyasi sebagaimana penetapan pengadilan negeri surabaya nomor : 09/kons/2014/PN Sby tanggal 16 Desember 2014 ,jadi perbuatan terdakwa satu dan dua bukanlah tindak pidana tetapi merupakan perbuatan dalam lingkup keperdataan maka dengan telah adanya konsinyasi tersebut saksi tidak mengalami kerugian.
HARIFIN