RadarOnline.id, SURABAYA – Hanny Lanyantara, pendeta Gereja Happy Family Center sekaligus terdakwa pencabulan kembali menjalani sidang di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Kamis (17/9).
Sidang kali ini beragendakan nota pembelaan atau pledoi.
Usai persidangan, penasehat hukum terdakwa yakni Abdurrachman Saleh mengatakan, bahwa inti dari pledoinya bahwa pihaknya tidak setuju dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
” Inti poinnya adalah kami tidak sependapat dengan jaksa penuntut umum. Jaksa tuntutannya sesuai dengan hukum. Itu tidak terbukti. Kenapa dibilang tidak terbukti ?. Karena rangkaian peristiwa yang di dakwakan terhadap terdakwa keluar dari hukum,”kata Abdurrachman didepan awak media.
Lebih lanjut Abdurrachman menjelaskan bahwa undang undang yang dipakai jaksa antara surat dakwaan dan surat tuntutan berbeda.
Ia juga menjelaskan bahwa Undang-undang nomor 23 tahun 2002 yang dipakai tentang perlindungan anak. Namun tiba-tiba di dalam tuntutannya memasukan undang undang terbaru nomor 35 tahun 2014. Itu sangat janggal sekali. Padahal dakwaan adalah ukuran pemidanaan bukan tuntutan.
“Yang pertama ukuran pemidanaan adalah surat dakwaan yang didakwakan terhadap terdakwa, tercantum di dalam pasal 143 kitab undang-undang hukum acara pidana. Memasukan tuntutannya terdakwa tidak pernah didakwakan tahu-tahu muncul, itu yang saya sampaikan tadi, otomatis adalah sebuah pelanggaran hukum,” ungkapnya.
“Yang kedua dari bukti materiilnya sama sekali tidak ditemukan bukti materiilnya, bahwa bapak Hanny melakukan perbuatan cabul sama sekali tidak ditemukan itu,” tambahnya.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, terdakwa pendeta Hanny Lanyantara dinyatakan terbukti melanggar Pasal 82 ayat 2 Undang-Undang (UU) No.35 tahun 2014 tentang perubahan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Oleh JPU terdakwa dituntut 10 tahun denda Rp100 juta, subsider 6 bulan penjara.
HARIFIN