BOII Lelang Agunan Debitur, Ahli Hukum: Sarat Penyimpangan dan Kecurangan

Pinterest LinkedIn Tumblr +

RadarOnline.id, JAKARTA  –  Diduga berbagai penyimpangan, kecurangan dan pelanggaran telah dilakukan direksi, pimpinan dan bankir-bankir di Bank Swadesi yang kini menjadi Bank of India Indonesia (BOII) dalam pelelangan aset debitur Rita KK/PT. Ratu Kharisma/RK tanah berikut bangunan Villa Kozy di Seminyak, Bali.

Hal itu terungkap dari keterangan enam Profesor Doktor ahli hukum pidana dan perbankan dalam sidang kasus perbankan atas nama terdakwa Suciati Ningsih di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jl. Bungur Raya, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin (7/9).

Sidang Terdakwa Suciati Ningsih, eks Direktur Utama Bank of India Indonesia itu masuk agenda mendengarkan keterangan ahli. Sedianya enam ahli hukum yang di hadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kehadapan persidangan untuk menyampaikan pendapatnya/keahliannya dihadapan Ketua Majelis Hakim Sainal SH MH.

Tetapi hanya pendapat Dr Sumiana MSC yang secara langsung didengarkan dalam persidangan online atau daring itu, sedangkan pendapat lima ahli lainnya masing-masing Sulistiyo, Sari Eka, Nindyo Pramono, Prio Gunarmo, Siti Astiati Jeni dibacakan JPU Olla dan Rima secara bergantian yang terdapat dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Selain alasan pandemic covid-19, pembacaan itu dapat dilakukan karena pendapat mereka telah dibuat di bawah sumpah.

Ahli perbankan yang juga akademisi dan komisaris bank Dr Sumiana MSC menyatakan bahwa dirinya tidak dapat memastikan bahwa dalam pelelangan agunan milik debitur cukup dikenai sanksi denda atau harus dipidana. “Yang pasti tindakan pelelangan aset debitur Rita KK/PT RK oleh BOII telah merugikan debitur itu sendiri,” ujar Sumiana.

Menurut Sumiana, penilaian agunan harus sah dan ditandatangani penilai. Agunannya sendiri harus dicek dan dilihat kelengkapan dokumennya. Setelah itu dipastikan lagi apakah penilaian tanah berikut bangunan di Bali (villa Kozy) sudah benar atau tidak. Nilai bangunan apakah sudah sesuai dengan kredit. “Jika ternyata penilaian masih berupa draf, Itu jelas tidak boleh karena melanggar berbagai ketentuan Kredit. Itu tidak layak dikucurkan kredit,” tuturnya.

Menurut ahli, tindakan Bank Swadesi yang kini berubah nama menjadi BOII menjual atau melelang agunan tanpa kesepakatan dengan debitur, juga bertentangan dengan ketentuan yang berlaku karena bisa sangat merugikan debitur.

“Lelang harus ada kesukarelaan dari debitur. Tujuannya, jika agunan yang dilelang itu belum cukup mengcover kredit yang bermasalah tersebut maka debitur bisa, menutupinya. Sebaliknya, jika hasil lelang agunan lebih mengcover tunggakan kredit maka akan diserahkan kelebihannya itu kepada debitur tersebut. Bank tidak boleh tergesa-gesa melelang agunan, kasih waktu 8 bulan bahkan setahun lebih. Kalau bank terburu-buru melelang, apalagi tanpa kesukarelaan debitur, boleh jadi ada maksud mengejar keuntungan sendiri dengan merugikan debitur,” ucap Sumiana menegaskan.

Ahli Sulistiyo mengatakan, bank harus taat pada aturan main perbankan yang ada. Bank juga harus menganut prinsip kehati-hatian. Mengucurkan kredit harus sesuai SOP. “Harus ada persetujuan komite kredit setiap mengucurkan kredit untuk limit tertentu,” ujarnya.

Pendapat ahli Sari Eka juga kurang lebih sama dengan pendapat ahli Sulistiyo dan Sumiana. Kendati penghapusan buku hak perogratif bank tetap saja SID atas nama debitur Rita KK/PT RK diperlakukan sebagaimana aturan perbankan yang baku.

Ahli Nidyo Pramono dalam pendapatnya menyatakan, bank wajib memelihara kesehatan bank dengan menganut ketaatan dan prinsip kehati-hatian bank. Jika bank sabar, maka akan dapat diredam kemungkinan komplik dengan debiturnya. Sayangnya, ada pula bank yang surat peringatannya belum tiga bulan, bahkan belum selesai 21 hari, bank itu sudah melakukan tindakan. “Itu berarti bank itu melanggar aturan main sendiri dan aturan main perbankan dan perundangan-undangan. Bank itu terburu-buru seolah untuk menyelamatkan kreditnya namun kenyataannya justru merugikan debiturnya,” tuturnya.

Ahli hukum Prio Gunarmo mengatakan, direksi bank bisa dikenai sanksi pidana dikarenakan telah melakukan tindak pidana ekonomi. Misalnya, penyajian SID tidak benar dan dengan sengaja membuat sulit debiturnya. Sedangkan ahli Siti Astiati Jeni menyebutkan jika objek yang mau dilelang masih dalam sengketa maka pelelangan yang dipaksanakan itu telah menabrak berbagai ketentuan. “Harus ditunggu selesai perkaranya sesuai aturan main pelelangan,” ujarnya.

Menanggapi pendapat-pendapat ahli hukum tersebut, penasihat hukum terdakwa Suciati Ningsih, Feronica menyebutkan bahwa kliennya mengucurkan kredit kemudian melelang agunan debitur Rita KK/PR RK sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI).

Sementara itu, Jubir Mahkamah Agung (MA) Dr Andi Samsan Nganro SH MH mengakui bahwa aparat Badan Pengawasan (Bawas) MA telah melakukan pemantauan atas persidangan kasus perbankan dengan terdakwa Ningsih Suciati. “Sifatnya masih pemantauan. Hal itu dilakukan setelah ada permintaan untuk dilakukan pengawasan atas persidangan tersebut,” ujar Andi Samsan Nganro di Jakarta, Senin (7/9).

THOMSON

Share.

About Author

Leave A Reply