JPU Tuntut Terdakwa 2 Tahun, Yayat: Tuntutan Jaksa Tidak Sesuai Fakta

Pinterest LinkedIn Tumblr +

RadarOnline.id, JAKARTA – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Astri Rahmayanti SH M.Pd, MH dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Utara dan Jaksa Nopri dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta menjatuhkan Tuntunan 2 tahun pidana penjara terhadap terdakwa Peter Sidharta, di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Jl. Gajah Mada, Jakarta Pusat, Selasa (7/7).

Dihadapan Ketua Majelis Hakim Tumpanuli Marbun, SH, MH, JPU Astri R. SH, M.Pd, MH dalam surat tuntutannya mengatakan terdakwa Peter Sidharta telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melanggar Pasal 263 ayat (1) KUHP, “membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, karenanya dijatuhi hukuman 2 tahun penjara dipotong selama dalam tahanan.”

“Karena dakwaan Kami berbentuk Alternatif, maka Kami akan membuktikan dakwaan yang menurut kami mendekati fakta hukum, yaitu dakwaan Kedua Pasal 263 ayat (1) KUHP dengan subyek hukum yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan Terdakwa membuat keterangan palsu. Tanah Tidak Dalam Sengketa” atas Tanah di Jalan Bandengan Utara No. 52/ A-5 Kel. Penjaningan, Kec. Penjaringan, Kota Jakarta Utara tidak dalam sengketa”. Dan surat itu dipergunakan terdakwa sebagai persyaratan pengurusan sertifikat sehingga terbitlah SHGB No.6308/penjaringan, atas nama Peter Sidharta,” ujar Astri dalam surat Tuntutannya.

Oleh karena itu tambah Astri, pelapor telah dirugikan senilai Rp14 miliar karena hak kepemilikan tanah telah berpindah menjadi atas nama Peter Sidharta. Setelah dua saksi mantan Lurah Penjaringan dan Ketua RW15 mencabut pernyataan “tanah tidak dalam sengketa”.

Sebelumnya JPU mendakwa Terdakwa Peter Sidharta dengan dakwaan Pasal 167 KUHP (Pasal primer) “memasuki halaman orang lain dengan paksa” dan Pasal 263 ayat (1) KUHP (Pasal subsidair).

Atas tuntutan JPU itu, Penasehat Hukum terdakwa Perter Sidharta, Yayat Surya Purnadi SH MH dari Kantor YS Purnadi & Partners mengatakan bahwa tuntutan JPU itu tidak sesuai fakta. Perdata dijadikan Pidana.

“Tuntutan JPU tidak sesuai fakta persidangan sebagaimana keterangan saksi-saksi yang telah terungkap dipersidangan. Nanti akan kita urai dalam pledoi. Itu murni perdata bukan pidana,” tegas Yayat.

Pasalnya, tambah Yayat permasalahan yang terjadi antara Piter Sidharta dengan Ali Sugiarto berawal dari sewa menyewa. “Klien kami seharusnya tidak bisa dituntut karena antara dua pihak terjadi ikatan sewa menyewa.
Apa yang disebutkan JPU terbukti dipalsukan ini terkait dengan surat keterangan sengketa atas tanah yang sebelumnya disewakan Ali Sugiarto namun kemudian menjadi SHGB-nya Piter Sidharta berkat dikabulkannya permohonan haknya atas obyek tanah tersebut. Pemalsuan? menurut JPU menjadi terbukti karena surat keterangan tidak sengketa yang diajukan Piter Sidharta ke RW dan Lurah Penjaringan Suranta dicabut kembali oleh Suranta takkala dirinya bukan Lurah Penjaringan lagi. Ini tidak benar. Karena ahli Tata Negara mengatakan bahwa surat yang diterbitkan pejabat negara sah jika selama tidak ada yang mepersengketakannya. Jika surat itu disengketakan maka kewenangan ada pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bukan pada pejabat yang menerbitkan surat,” ujar Yayat mengungkapkan keterangan Ahli Tata Negara Prof. Dr. Zainal Arifin Hoesein pada persidangan sebelumnya.

Dalam persidangan kasus tersebut sebelumnya juga terungkap bahwa kepemilikan Egendom Verponding sudah gugur sejak tahun 1980 apa bila tidak dikonfersi ke Sertifikat sejak diberlakukan Undang-undang No.6 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, maka lahan itu dengan sendirinya menjadi tanah negara (bebas). Selanjutnya siapa yang menguasai lahan tersebut dalam kurun waktu tertentu disertai pembayaran pajak secara kontinyu menjadi lebih berhak mendapatkan hak kepemilikan lahan tersebut. Dalam kasus Piter Sidharta ini yang lebih berhak justru Piter Sidharta sendiri.

Hal itu dikuatkan saksi Endo Kurniawan dari Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional DKI Jakarta saat memberikan keterangan terkait kasus penyerobotan dan pemalsuan dokumen dalam tanah di Bandengan Utara 52 A5 Penjaringan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Sebab bukti-bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan selama atas nama Peter Sidharta kemudian SHGB No.6308/penjaringan atas nama terdakwa (Peter Sidharta).

SHGB itu sendiri diperoleh Terdakwa Peter Sidharta dari status ‘Tanah Negara’ atau mengajukan permohonan hak dengan membayar PBHTB sebesar Rp501 juta kepada negara. Artinya, SHGB itu terbit setelah permohonan hak alas tanah diajukan Piter Sidharta dari TANAH NEGARA menjadi atas namanya. Bukan dari Egendom verponding seprti yang di miliki saksi pelapor.

THOMSON

Share.

About Author

Leave A Reply