RadarOnline.id, JAKARTA – Ditengah pandemi covid19 yang memporak-porandakan perekonomian hampir di seluruh negara dunia termasuk Indonesia, masyarakat dikejutkan dengan keluarnya Perpres 64 Tahun 2020 yang menggantikan Perpres No. 82 tahun 2018 tentang Jaminan
Kesehatan menyatakan bahwa iuran BPJS Kesehatan kembali dinaikkan per tanggal 1 Juli 2020. Hal ini bertentangan dengan keputusan Mahkamah Agung yang melarang kenaikan iuran
BPJS melalui putusan Nomor 7P/HUM/2020.
Didasari putusan MA tersebut maka iuran BPJS Kesehatan yang telah dibayarkan oleh masyarakat sejak bulan Januari 2020 menjadi deposit dan masyarakat tidak perlu membayar kembali.
Pengaduan konsumen terkait kesehatan memang tidak menunjukan angka tertinggi dalam pengaduan konsumen, namun ada 3 kritera selain data pengaduan yang masuk yang menjadi alasan BPKN dalam mengangkat isu aktual dan mengadakan Focus Group Discusion FGD yaitu apabila meresahkan masyarakat, sifat korban masif, dan potensi mengancam jiiwa konsumen serta memonitor media, dimana isu terkait kenaikan tarif BPJS dan juga keluhan terkait layanan BPJS menjadi catatan BPKN dalam menyelenggarakan FGD dengan tema isu kenaikan tarif BPJS, tujuan dalam diskusi tentunya untuk mencegah insiden-insiden yang merugikan konsumen.
Membuka webinar melalui virtual yang dikemas dalam bentuk FGD siang ini.
Dr. Rolas B. Sitinjak selaku Wakil Ketua BPKN menyampaikan, ” Mencermati kebijakan yang telah diputuskan oleh Pemerintah terhadap kenaikan tarif BPJS Kesehatan, BPKN menyoroti problema yang melekat dalam produk kesehatan adalah asymmetric information/informasi yang tidak sejajar. Ketika berobat, pasien/konsumen pada umumnya tidak memiliki pengetahuan tertentu mengenai jenis pelayanan apa yang mendasar. Pasien selalu menggantungkan kebutuhan terapi atas nasihat dokter yang memang lebih mengetahui akan kebutuhan pelayanan pasien. Keadaan ini mengakibatkan ketidakseimbangan informasi pasien dengan provider (dokter/RS) dan peran ganda provider (dokter/RS) sebagai penasihat dan pemberi layanan jasa kesehatan. Sebagai contoh pada kasus rawat jalan, pasien harus berkunjung kembali (revisit) untuk penyakit serupa”.
Selain pada kasus rawat jalan, hal revisit juga terjadi pada pasien rawat inap yang mengakibatkan pasien harus readmission (dirawat inap ulang) dikarenakan pasien dipulangkan dini oleh provider yang sebenarnya masih membutuhkan perawatan. Hal ini mengakibatkan pemborosan dan berimbas pada keuangan sistem jaminan. Pemborosan juga terjadi pada skema rujukan.
Perawatan yang seharusnya dapat dilakukan pada faskes tingkat pertama tetapi dilakukan rujukan ke faskes lanjutan. Sehingga klaim rumah sakit membengkak.
Dr. Rizal E. Halim Selaku Koordinator Advokasi BPKN menyampaikan, ”Melihat keadaan diatas menaikkan premi BPJS Kesehatan bukanlah kebijakan yang menyentuh akar permasalahan; Defisit BPJS yang terjadi perlu ditangani dengan memberikan alternatif kebijakan dalam ruang perbaikan terhadap regulasi sistem pelayanan kesehatan (rujukan, dll); Regulasi kualitas layanan kesehatan, obat, alat kesehatan serta regulasi tariff pelayanan Kesehatan”.
Rizal menambahkan, ”Terkait dengan kenaikan tarif BPJS menjadi tidak relevan apabila tidak sebanding dengan layanan yang ada, Catatan Penting dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 antara lain sbb: Pertama, Perpres ini mengatur mengenai peninjauan dan pengusulan besaran iuran, besaran denda bila terjadi tunggakan bayar, Kedua, mengatur tentang penegakan kepatuhan membayar iuran. Selain mendorong agar masyarakat mengikuti BPJS, juga diharuskan untuk membayar iurannya. Apabila tidak membayar iuran maka akan dikenakan penghentian sementara penjaminan, Ketiga, pertimbangan kenaikan tarif Kenaikan tarif akan memperhitungan sejumlah faktor, di antaranya inflasi, biaya kebutuhan Jaminan Kesehatan, dan kemampuan membayar iuran dan Keempat, Perpres juga mengatur mengenai perbaikan tata kelola sistem layanan Jaminan Kesehatan. Pelaksanaannya dilakukan secara berkesinambungan dengan stakeholder”.
dr. Kalsum Komaryani, MPPM selaku Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan menyatakan “standar tarif pelayanan kesehatan di FKTP dan FKRTL ditetapkan oleh Menteri setelah mendapatkan masukan dari BPJS Kesehatan bersama dengan asosiasi fasilitas kesehatan; mempertimbangkan ketersediaan Fasilitas Kesehatan, indeks harga konsumen, dan indeks kemahalan Daerah”.
Ni Made Ayu Sri Ratna Sudewi selaku Deputi Direksi Bidang Manajemen Iuran BPJS Kesehatan menyampaikan, “saat ini kepesertaan JKN per januari sudah 220 juta jiwa adalah nomor 1 di dunia dalam kepersertaan JKN, dampak program ini dibuat tidak untuk merugikan konsumen, untuk menyempurnakan program ini memastikan kualitas dan after service, adapun akreditasi yang harus dipenuhi rumah sakit, adanya consumer care untuk lebih dekat dengan konsumen agar menerima masukan untuk perbaikan pelayanan dan menetapkan petugas BPJS 1 di rumah sakit siap menerima keluhan langsung dari konsumen”. Harapannya ekosistem kesehatan di Indonesia yang hebat, karena salah satu pilar ketahanan nasional adalah kesejahteraan terjadi.
Rizal menambahkan, “Banyaknya masukan dan juga informasi melalui diskusi menjadikan perbaikan yang nantinya dirasakan konsumen, harapannya banyaknya keluhan seperti syarat administrasi untuk pendaftaran, dan juga rujukan agar lebih disederhanakan dan mempermudah konsumen khusunya penyakit yg kronis, tentunya perbaikan manajemen, sosial security, Perlu kuat dalam sistem informasi kesehatan dengan membuat sistem online dan meninggalkan konvensional dan juga stakeholder tentunya selalu berkoordinasi dan juga melakukan perbaikan melalui pengawasan dan kontrol agar insdiden-insiden tidak lagi terjadi terkait pelayanan kesehatan, karena kita mempunyai hak yang sama tidak ada perbedaan perlakuan dan juga layanan dalam layanan kesehatan, untuk itu lebih dahulu permudah tatanan baru menaikan iruan”.
Harapannya BPJS bisa membangun kepercayaan pada masyarakat dengan model komunikasi yang dibangun oleh BPJS dan juga lebih transparan pada masyarakat, serta peningkatan layanan, Pungkas Rolas selaku Wakil Ketua BPKN.
EDISON MUNTHE