RadarOnline.id, JAKARTA – Suranta Lurah Penjaringan, Kec. Penjaringan, Jakarta Utara menerbitkan surat rekomendasi pernyataan tanah yang berlokasi di Jl. Bandengan Utara, tidak dalam keadaan sengketa pada tahun 2013. Dimana Suranta mengawali karirnya sebagai Lurah di Kelurahan Penjaringan setelah lulus kualifikasi lelang jabatan, di era pemerintahan Jokowi-Ahok selaku Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Atas dasar rekomendasi Lurah yang menyatakan “Tanah Tidak Dalam Sengketa” itu maka terbitlah Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Nomor: 6308/penjaringan atas nama PETER SIDHARTA, seluas 670 M2, di Jalan Bandengan Utara, Nomor 52 A/S Rt. 001 Rw. 015, Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Kota Administrasi Jakarta Utara, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Yang membuat pertanyaan besar bagi masyarakat dan lebih lagi buat majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara adalah perangkat pemerintah itu: Lurah RW, dan RT mencabut pernyataannya itu pada saat mereka sudah tidak lagi menjabat sebagai Lurah di Kelurahanan Penjaringan.
“Saya Mencabut pernyataan saya sebagai pribadi. Saya tidak lagi sebagai lurah,” ujar Suranta dengan suara agak tinggi menjawab pertanyaan Ketua Majelis Hakim Tumpanuli Marbun SH, MH di saat dimintai keterangannya sebagai saksi untuk terdakwa Peter Sidharta, di Pengadilan Negeri (PN), Jakarta Utara, Jl. Gajah Mada, Jakarta Pusat, Selasa (2/6).
Sunarta mantan Lurah Penjaringan itu sangat bersemangat mengatakan pencabutan Rekomendasi “Tanah Tidak Dalam Sengketa” itu tanpa adanya permintaan dari orang lain apalagi adanya tekanan. “Saya tahu bahwa tanah itu sengketa, setelah saya dipanggil dan diperiksa penyidik POLDA METRO JAYA. Disitulah saya baru tahu (Mei 2019) bahwa tanah itu dalam sengketa , sebelumnya saya tidak tahu majelis,” jawab Suranta lagi saat Hakim Tumpanuli Marbun mendalami pertanyaannya atas jawaban mantan Lurah Penjaringan itu.
Majelis hakim terlihat saling bisik seolah curiga mendengar keterangan Sunarta mantan Lurah itu. “Lalu siapa yang meminta saudara saksi mencabut pernyataan anda itu? Apakah ada permintaan atau tekanan dari penyidik POLDA METRO JAYA saat itu?” tanya Hakim Tumpanuli lebih dalam.
Yang di jawab tidak ada tekanan. “Tidak ada permintaan apalagi tekanan. Itu atas inisiatif sendiri supaya tidak ada masalah, karena memang polisi mengatakan bahwa tanah itu dalam sengketa,” jawab Suranta.
Majelis hakim Tumpanuli yang merupakan hakim senior itu terlihat semakin tertarik mendalami pertanyaan-pertanyaan karena jawaban saksi Suranta mantan Lurah itu sudah melenceng dari kewenangannya. “Saudara saksi, tadi saudara mengatakan mencabut rekomendasi supaya tidak ada masalah, tahu kah sauadara bahwa atas pencabutan rekomendasi itu maka sekarang menjadi tambah masalah? Pertanyaan saya: Saudara selaku Lurah apakah tidak menyelelidiki terlebih dahulu ke beradaan tanah yang saksi buat kan rekomendasi itu, baru menerbitkan rekomendasi itu?” tanya Hakim Tumpanuli Marbun, SH, MH, yang dijawab: tidak pak Hakim.
Mendengar jawaban Sunarta itu Hakim Tumpanuli terlihat semakin penasaran ingin lebih jauh mendalami pertanyaannya. “Sejak kapan saudara saksi menjadi lurah, dan kapan saudara berhenti jadi lurah?” tanya Tumpanuli lagi, yang dijawab: “Saya menjabat Lurah mulai tahun 2013 dan berhenti sebagai lurah sekitar bulan Juli 2017” jawab Sunarta. Dan dia menambahkan bahwa dia mencabut penrnyataan itu selaku Pribadi pada tahun 2019. Sementara membuat rekomendasi itu pada tahun 2013.
Ada jangka waktu hampir 6 tahun membuat rekomendasi dengan Pencabutan rekomendasi itu. Mencabut pun sebagai pribadi.
Mendengar keterangan saksi Sunarta mantan Lurah itu, hakim anggota Tiaris Sirait, SH langsung melontarkan pertanyaan. “Saudara saksi sebagai lurah, anda adalah pejabat negara yang telah menandatangani dokumen negara. Jika anda sebagai lurah telah menandatangani dokumen negara maka yang membatalkan itu bukan anda sebagai pribadi, tetapi anda sebagai lurah, itulah yang dapat membatalkan dan atau lurah yang menggantikan jabatan anda sebagai lurah. Jabatan lurah itu tidak bisa dibawa-bawa kerumah,” ucap Tiaris Sirait menimpali jawaban sang mantan Lurah Penjaringan.
Tiaris Sirait terlihat sedikit terpancing emosinya mendengarkan jawaban mantan Lurah itu. Memang bila dicermati jawaban-jawaban mantan lurah itu sangat ironis. Pejabat negara kurang memahami hukum administrasi. Memang jika demikian kemampuan berpikir seorang Lurah maka akan membuat kacau administrasi negara.
“Tahukah Saudara karena kelalaian anda melaksanakan tugas, saat ini Peter Sidharta ini menjadi terdakwa di pengadilan ini. Jika saudara tidak membuat rekomendasi itu maka terdakwa ini tidak disini. Jangan membuat aturan seperti teh celup, celap-celup,” ujar Tiaris Sirait dengan mempraktekkan tangannya naik turun seolah sedang menyeduh teh celup.
Kemudian dia menambahkan: “Dengan jangka waktu yang begitu lama tahun 2013 ke 2019, saudara saksi masih berani? Bagaimana jika sertifikat SHGB itu digadaikan ke Bank? Apa tidak membuat semakin rumit persoalan?” lontarnya.
Kemudian Hakim Ketua Majelis melanjutkan pertanyaannya terkait administrasi pengajuan rekomendasi. “Saudara saksi, saat ada permohonan rekomendasi pernyataan bahwa tanah tidak dalam sengketa, apa saja lampiran-lampirannya? Apakah ada KTP, atau giriq atau akte jual beli?” yang dijawab tidak tahu.
“Saya kurang tahu pak Hakim, waktu itu yang urus adalah wakil lurah (Anwari). Semua di handle wakil lurah waktu itu,” jawab Sunarta.
Wakil Lurah Anwari saat ini sudah almarhum. Jadi tidak bisa lagi didengarkan keterangannya. “Wakil lurah sudah almarhum. Kita melihat bahwa Lurah dan pak RW menimpahkan persoalan ini kepada almarhum,” ujar Yayat Surya Purnadi, SH usai persidangan.
Memang pada kesaksian sebelumnya Tedy Hadi Subrata Ketua RW 15, Kelurahan Penjaringan mengatakan bahwa yang datang ke RW adalah Budi dan Wakil Lurah untuk meminta tandatangan dari RW. Seolah aparat itu melimpahkan persoalan kepada yang sudah meninggal dunia.
Pada sidang hari itu Jaksa Penuntut Umum (JPU) Astri R, SH dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Utara menghadirkan 4 saksi, yakni 1. Tedy Hadi Subrata (pelapor), Nisa Lisnawati (Palapor), Tedy Sugiarto (Ketua RW) dan Sunarta (mantan lurah).
Sementara Penasehat Hukum (PH) terdakwa Peter Sidharta, Yayat Surya Purnadi, SH, MH, CPL dari YS Purnadi & Partners memperlihatkan sejumlah bukti, seperti sertifikat dan pembayaran PBB atas nama Peter Sidharta sejak tahun 2006.
Yayat Surya Purnadi, SH kembali mempertegas pertanyaan majelis hakim terkait administrasi pembuatan surat rekomendasi itu dan masa jabatan Sunarta sebagai lurah.
“Saudara saksi, kapan saudara buatkan surat rekomendasi pernyataan tanah tidak dalam sengketa?” tanya Yayat, yang dijawab: tahun 2013, kata Sudarta.
“Menurut informasi bahwa surat rekomendasi itu tidak tercatat di kelurahan, bagaimana itu terjadi?” tanya Advokat Yayat, yang dijawab: itu urusan staf, jawab Sunarta.
“Apakah penomoran duluan baru tandatangan lurah?” tanya Yayat lagi, yang dijawab: tandatangan dulu baru dibuatkan nomor oleh staf.
“Jadi jika ada kesalahan admistrasi, siapa yang bertanggungjawab?” tanya Yayat lagi, yang dijawab: staf.
“Ya sudah, menurut saksi yang tanggujawab stafnya. Pimpinan tidak,” timpal Ketua Majelis Hakim Tumpanuli.
Saksi Sunarta sebagai lurah seolah lepas tanggungjawab atas setiap masalah.
Sementara saksi Tedy Hadi Subrata sebagai saksi kuasa dari korban dan yang juga menantu dari pewaris atau suami dari salah satu waris banyak mengatakan tidak tahu pertanyaan hakim dan juga pertanyaan dari PH terdakwa. Termasuk dari tahun berapa terdakwa menguasai lahan dan juga terkait dengan Pinatun Hutasoit yang diberikan kuasa oleh ahli waris setelah Ali Sugiarto meninggal dunia pada tahun 1975.
“Saya hanya tahu persoalan tahun 2006 dimana terdakwa tidak lagi Membayar uang sewa gudang. Disitulah saya mendapatkan kuasa. Jadi peristiwa jauh sebelumnya saya tidak tahu,” ujar saksi Tedy Hadi Subrata.
Oleh karena banyak ketidak tahunya kuasa pelapor sehingga Advokat Yayat memohon kepada majelis agar saksi itu membawa surat kuasa dan juga surat surat lainnya pada sidang berikutnya.”Majelis yang Terhormat, Karena saksi selaku yang di kuasakan juga tidak tahu pemalsuan apa yang dilaporkan ke polisi, maka kami mohon majelis agar saksi ini membawa kelengkapan surat-surat nya pada sidang yang akan datang,” ujar Yayat.
Semenyara saksi Nisa Lisnawati juga mengatakan tidak terlalu tahu persoalan tanah itu, karena dulu semua dikuasakan kepada saudara angkat Pinantun Hutasoit.
Tapi Nisa mengakui bahwa sejak Dia masih kecil tahun 60 an PT. Toy lah yang menyewa gudang.
Oleh karena itu majelis mengatakan bahwa persoalannya adalah sewa menyewa. “Jadi seandainya pembayaran sewa terus dilakukan maka laporan tidak terjadi?” tanya majelis kepada saksi Tedy Hadi Subrata, yang dijawab: ya.
“Ya, majelis, tahun 2006 tidak dibayar lagi sewa gudang sehingga kita dilorkan,” tambah Tedy.
Tapi majelis mempertanyakan bahwa dakwaan JPU adalah pasal pemalsuan PBB dan pasal 167 memasuki pekarang orang dengan paksa.
JPU Astri mendakwa terdakwa Peter Sidharta dengan pasal 263, Jo. Pasal 167 KUHP. Pasal 263 KUHP karena terdakwa telah merubah Pembayaran PBB menjadi atas nama Peter Sidharta dan 167 KUHP karena terdakwa memasuki gudang.
Sesuai fakta persidangan bahwa orangtua terdakwa Peter Sidharta telah menempati/menguasai lahan sejak tahun 1951 hingga saat ini.
“Oleh karena itu, apa yang didakwakan saudara JPU tidak ada kolerasinya dengan fakta persidangan ini. Ini semua rekayasa untuk mengkriminalisasi klien kami,” ujar Advokat Yayat Surya Purnadi diluar persidangan.
THOMSON