Adrianus Meliala: Kasus MNI Stuck Seyogianya KPK Ambil Alih

Pinterest LinkedIn Tumblr +

RadarOnline.id, KOTA DEPOK – Mantan Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail dan mantan Sekda Depok Harry Prihanto, sudah ditetapkan oleh penyidik Tipikor Polresta Depok, sebagai tersangka. Atas kasus dugaan korupsi anggaran pelebaran Jalan Nangka, Kelurahan Sukamaju Baru, Kecamatan Tapos, Depok, Jawa Barat, pada akhir 2016 lalu.

Hingga kini, terhitung sudah 15 bulan sejak Polisi menentapkan mantan walikota Depok periode 2006-2010 dan 2010-2015 itu tersangka setelah menerima hasil audit BPKP Bandung Agustus 2018. Berdasarkan hasil audit itu, BPKP menetapkan telah terjadi kerugian negara sebesar Rp10.8 miliar rupiah dari Rp17 miliar APBD Kota Depok yang digelontorkan untuk pembebasan atau pelebaran Jalan Nangka.

Pada April 2019, Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Depok mengembalikan berkas BAP kasus korupsi Jalan Nangka ke Penyidik untuk ke 6 kalinya. Karena penyidik Polresta Depok, masih belum melengkapi petunjuk yang diberikan oleh Jaksa Penununtut Umum (JPU).

Entah kenapa kasus ini, hingga November 2019 masih beku, ketika ditinggal mutasi oleh mantan Kapolresta Depok Kombes Pol Didik Sugiarto dan mantan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kota Depok Sufari.

Selanjutnya, bagaimana dengan Kapolresta Depok AKBP Azis Ardiansyah dan Kajari Kota Depok Yudi Triadi dalam menuntaskan kasus ini. Mengingat kasus ini sudah menjadi isu nasional tapi penanganannya terkatung-katung, tak heran timbul rasa distrust (kurang percaya) terhadap penegakan supremasi hukum yang menjerat politis senior partai PKS tersebut.

Apakah dua institusi penegak hukum ini bakal berkolaborasi menyatukan sumberdaya yang dimiliki untuk segera menyelesaikan kasus ini hingga ke meja hijau. Atau hanya mementingkan ego sektoral, belaka?

Sementara Kajari Kota Depok Yudi Triadi menjelaskan, bahwa mangkraknya kasus korupsi Nur Mahmudi Ismail karena ada petunjuk-petunjuk yang disampaikan JPU (P16) belum dilengkapi. Bahkan juga, perkara ini sudah di ekspose bersama Polresta Depok dan Kejari Kota Depok di Bandung dibawah supervisi KPK beberapa waktu lalu.

“Namun, hasilnya pun sama, masih ada petunjuk yang belum dipenuhi. Sedangkan, KPK juga sama dengan kami belum cukup bukti menurut kami. Jadi apa-apa hasil dari pemeriksaan belum meyakinkan JPU untuk yakin di limpahkan ke Pengadilan,” ujar Yudi Triadi kepada pewarta, Selasa (12/11/2019), di Aula Kejari Depok, Jawa Barat.

Dia menambahkan, bahwa ketika kami melimpahkan kasus ke Pengadilan, begitu juga sama. Jadi syarat pemutusan perkara itu dua alat bukti ditambah keyakinan tadi. Jangankan dua alat bukti, kami punya 1000 alat bukti tapi hakim tidak yakin perkara pasti bebas. Kami menjaga itu.

“Artinya, dalam KUHAP sampai sampai saat ini tidak ada batas waktu antara P18/P19. Dan petunjuk itu bukan konsumsi publik hingga majelis hakim menggelar sidang atas kasus ini yang sifatnya terbuka untuk umum, disitu nanti di buka semua,” papar Yudi.

Yudi enggan membeberkan apa-apa saja yang menjadi petunjuk JPU yang belum di penuhi. Seperti tidak ada batas waktu pada P18/P19, atau berkas di serahkan ke JPU dan berkas di kembalikan ke Peyidik. Namun,
berkas kasus dapat diserahkan ke Kejari Depok tanpa memenuhi petunjuk JPU, dengan catatan penyidik harus menyatakan kalau penyidikan sudah maksimal dalam surat.

“Jadi, sesuai di KUHAP bahasanya begitu, bilamana penyidik merasa itu sudah maksimal, ya silahkan menyerahkan berkas ke JPU, dengan konsekuensi tentunya,” pungkas mantan Asintel Kejati Jambi itu.

Sementara itu, Kapolresta Depok Ajun Komisaris Besar Polisi, Azis Ardiansyah menerangkan, bahwa pihaknya hingga saat ini masih berusaha memenuhi petunjuk JPU. “Jadi, nanti ya, ini masih kita dalami,” ujar Azis singkat.

Sebelumnya ditempat terpisah, Komisioner Ombudsman RI Adrianus Meliala dalam menyoroti kasus NMI yang masih bolak-balik dari penyidik Tipikor Polresta Depok ke JPU Kejari Depok menilai ada kemungkinan dua faktor yang mempengaruhi. Pertama permintaan JPU itu tidak bisa dipenuhi penyidik atau permintaan jaksa yang terlalu tinggi dan yang kedua adalah Polisi yang tidak mampu memenuhi petunjuk JPU.

“Jadi, saya tidak mau berburuk sangka kepada kedua belah pihak tetapi memang adakalanya polisi sudah merasa optimal dalam rangka penyidikannya dan ada yang kemudian hal yang tidak bisa diakomodasi dari permintaan JPU,” ujar Adrianus belum lama ini, di Kampus Universitas Indonesia (UI), Depok, Jabar.

Menurut nya, bahwa terkait dengan itu biasanya diajukan dua hal. Pertama adanya suatu pertemuan yang bersifat dibawah tangan lalu kemudian JPU bisa menerima sehingga kasus berjalan. Dan yang kedua adalah diadakan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) oleh Polresta Depok.

“Namun untuk opsi SP3 biasanya Polri keberatan karena akan susah mempertanggungjawabkannya didepan Propam dan pengawas dan pemeriksaan (Wasrik) Polri,” tutur Adrianus.

Adrianus menambahkan, sedangkan opsi win-win solution adalah yang pertama yakni pertemuan informal antara petinggi Polresta Depok dengan petinggi Kejari Depok. Namun dari segi kami sebagai pengamat (Ombudsman) ada aspek administrative yang berpotensi dilanggar diantara Polres dan Kejaksaan terkait dengan banyaknya bolak-balik perkara. Ada batas, ketika batas itu sudah dilampaui maka tentu dari pihak kepolisian itu wajib meng SP3 kan.

“Bahkan, ada juga kemungkinan, ketika kasus sudah stuck (mangkrak) maka seyogianya diambil alih oleh lembaga lain yang memiliki kewenangan yakni KPK,” pungkas mantan Kompolnas itu.

MAULANA SAID

Share.

About Author

Leave A Reply